Rabu, 28 November 2012

Benarkah Perbatasan Halaman Depan Negara



Negara Indonesia adalah negara kepulauan archipelagic state,[1] yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional.[2] Diawali dengan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 lalu diikuti UU Prp Nomor 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan” untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam “The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan, konsepsi itu menyatukan wilayah kita Di antara gugusan pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4 tahun 1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
Walaupun telah membuat peta garis batas, timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergesa-gesa membuat Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus direvisi karena International Court of Justice (ICJ) memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia. Kini timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas).
Wilayah perbatasan adalah sebuah ruang geografis yang kita posisikan di tepian negara, adalah tepian yang teramat penting bagi penanda penetapan dan peneguhan di tapal batas. Di ruang inilah sesungguhnya jendela terdepan bangsa dipertaruhkan. Rapuh dan terpuruknya wajah tepian tersebut mengambarkan keseluruhan administrasi dan kebijakan negara. Pilihan kebijakan negara dalam  mengelola daerah tepian amat menentukan masa depan bangsa secara keseluruhan di mata dunia. Pilihan yang tidak tepat bukan saja memperburuk tingkat kesejahteraan, tapi juga akan menyemai potensi disintegrasi bangsa.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara sejatinya telah mengedepankan pembangunan di wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan, dan kelestarian lingkungan.Tentu pendekatan tersebut perlu di barengi dengan pendekatan kesejahteraan sosial-budaya dan historis terbentuknya kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pendekatan yang terakhir ini menekankan pada penyadaran akar historis-budaya yang membentuk komunitas kolektif ke Indonesiaan dari masa lalu, dan masa kini, sebagai peneguh identitas bangsa.



[1] Menurut kamus Oxpord dan Webster kata “archipelagic state” berasal dari Bahasa Yunani, yakni arch “besar, utama” dan Pelagos “laut”. Sesungguhnya jika diartikan archipelago state adalah ‘negara laut utama’ yang berhamparan dengan pulau-pulau, bukan negara dengan pulau-pulau yang dikelilingi laut atau negara kepulauan. Sederhananya negara Indonesia adalah negara laut yang banyak pulau-pulaunya. Dan yang paling penting adalah pengembangan maritim dalam konteks mengawal, menjaga, dan mengurusi pulau-pulau yang ada.     
[2] Indonesia sebagai Negara kepulauan berbeda dengan faham archipelago Barat. Barat menyatakan bahwa laut sebagai pemisah pulau, sedangkan faham bangsa Indonesia, laut sebagai penghubung pulau sehingga wilayah Negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanah air dan disebut Negara Kepulauan

Rabu, 08 Februari 2012

Indonesian Human Rights Blog Award (IHRBA)

Indonesian Human Rights Blog Award (IHRBA) - http://hamblogger.org adalah
sebuah program yang digagas oleh IMDLN sebagai upaya promosi hak asasi
manusia di dunia online. Pogram ini pada dasarnya adalah sebuah kompetisi
ngeblog dengan tema hak asasi manusia yang ditujukan untuk merangsang
blogger dan komunitas blogger Indonesia untuk menulis beragam tema tentang
promosi, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

Upaya ini penting dilakukan karena wacana tentang hak asasi manusia
biasanya didiskusikan secara intens di lingkup yang terbatas yaitu kalangan
pegiat hak asasi manusia yang aktif di berbagai organisasi non pemerintah.
Untuk itu IMDLN memandang penting adanya kampanye hak asasi manusia melalui
penggunaan media sosial khususnya blog di Indonesia. Dengan melipatgandakan
konten bertema hak asasi manusia, maka upaya promosi hak asasi manusia di
Indonesia juga akan semakin cepat dan dengan demikian akan mendorong upaya
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Situs ini merupakan *landing portal* bagi IHRBA sebagai ajang promosi hak
asasi manusia di Indonesia dan juga sebagai pencatat kompetisi yang
diharapkan akan bergulir secara reguler setiap tahun. Situs ini sengaja
diberi nama domain hamblogger.org agar mudah diingat karena namanya yang
unik dan menggelitik. Jangan lupa untuk jadi follower kami di
@idhamblogger<http://twitter.com/idhamblogger>agar mendapatkan berita
– berita terbaru mengenai IHRBA

Minggu, 26 Juni 2011

Mungkinkah Ujian Nasional(UN) Yang Tidak Curang?


Seluruh siswa,guru bahkan orang tua seantero negeri ini tidak terkecuali di Tarakan yang saat ini anaknya akan mengikuti Ujian Nasional  (UN) Untuk jejang Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan diselenggarakan pada 18-21 April 2011. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsnawiyah (MTS) akan digelar 25-28 April 2011 mendatang. pasti harap-harap cemas seiring dengan konsekuensi yang paling menakutkan dalam UN yakni dii nyatakan tidak lulus.
Fakta yang tidak bisa diingkari, UN sampai saat ini masih saja di hantui oleh kecurangan-kecurangan. yang secara sengaja dilakukan oleh pihak sekolah, siswa, atau pihak lain yang berkepentingan. Bahkan hal ini kemudian mendapat respon “Ancaman” dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh yang akan memberikan sanksi  berupa menghapus nilai ujian nasional (UN)  bagi peserta maupun pihak sekolah yang melakukan kecurangan dengan cara mencontek, kerjasama dengan pihak lain,Untuk itu sudah seharusnyalah dalam pelaksanaan UN kali ini semua komponen pendidikan untuk mawas diri, bertindak objektif, dan jujur dalam pelaksanaan UN.
Sudah saat nya martabat ujian Nasional di sekolah-sekolah kita di tempatkan pada posisi yang terhormat, sudah saatnya sekolah tidak lagi  menjadi ‘barang komersial’ (moralitas pendidikan dan pengajaran amburadul), sudah saatnya tidak berfikir bahwa  ijazah lebih penting dari kecerdasan (ijazah dulu baru ilmu). Sudah saatnya semua komponen pendidikan (Kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, Dinas Pendidikan) tidak mengingkari kejujuran dan moralitas sekolah hanya demi prestise lulus 100%, nama, gengsi, dan uang. Dan sudah saatnya pengawasan dan monitoring dilakukan secara objektivif. Jika hal ini yang kita lakukan maka kita akan membawa pendidikan ini, kedalam ketinggian  nilai atau akhlak anak bangsa kita.
Alm. Prof. Nurcholis Madjid sangat menekankan pendidikan nilai. Akhlak adalah segala-galanya. Karena itu, meruntuhkan martabat ujian nasional (UN) dengan kecurangan-kecurangan maka sama artinya dengan menghancurkan pendidikan akhlak. serta merusak pendidikan akhlak, maka apa yang diharapkan Nurcholis seperti: silahturrahmi (pertalian cinta kasih antara sesama manusia), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-musawah), adil, (seimbang atau balance), baik sangka (husm-u’zh-zhann), rendah hati (tawadlu), tepat janji (alwafa), lapang dada (insyirah); dapat dipercaya (amanah), perwira (‘iffah atau la’affuf), hemat (qawamiyah), dan dermawan (2003: xviii-xxi) akan menjadi sia-sia jika kita tidak  menjalankan  UN dengan nilai-nilai kejujuran  ..., selamat melaksanakan UN dengan Jujur .***..

Selasa, 31 Mei 2011

Kita Butuh Kebijakan Publik Yang Benar!!!!


Salah satu masalah krusial yang mesti dicermati dalam Era Globalisasi dan proses transformasi sosial dewasa ini adalah krisis kebijakan publik yang sering menimbulkan konflik internal dalam institusi pemerintahan itu sendiri maupun konflik eksternal antara pihak pembuat kebijakan dengan masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut. Kebijakan publik yang semestinya menjadi instrumen sosial dalam mengatur sumber daya ekonomi dan politik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat banyak sering disalah tafsirkan dan disalahgunakan. Proses penyalahtafsiran dan penyalahgunaan ini dimungkinkan oleh praktek teknokrasi yang kuat (strong technocracy) dalam proses pembuatan kebijakan publik yang cenderung elitis dan tidak transparan sehingga suatu bentuk proses kebijakan publik mebjadi tidak  partisipatif dan tidak mendapat dukungan penuh dari publik.
Pada prinsipnya awal dari Krisis dalam kebijakan publik lahir dari praktek teknokrasi yang sangat sarat dengan muatan positivisme. Positivisme sendiri adalah suatu paham yang berakar pada pemikiran August Comte pada abad 19 yang lalu dikembangkan oleh sekelompok pemikir Yahudi yang tergabung dalam Lingkar Vienna (Vienna Circle) di era antar perang dunia. Lingkar Vienna menerapkan prinsip dan metodologi sains alam yang dianggap sebagai bentuk pengetahuan yang paling "sah" ke dalam bidang filsafat dan sains sosial. Ketika Nazi berkuasa di Eropa daratan, Lingkar Vienna bubar dan para anggotanya menyebar pemikiran-pemikiran positivisme ke institusi akademik luar Eropa, khususnya di negara-negara Anglo-Saxon. Sejak itulah praktek teknokrasi yang berakar pada sistem akademik Anglo-Saxon menerima positivisme sebagai bentuk tunggal dalam melihat permasalahan sosial.
Berangkat dari positivisme, praktek teknokrasi adalah suatu bentuk penggunaan pengetahuan yang rigid oleh para pembuat kebijakan dalam menganalisis masalah sosial dan menyusun kebijakan publik. Muatan positivisme dapat dilihat dari paradigma para teknokrat (pelaku teknokrasi) yang memodelkan permasalahan sosial seakan-akan dia merupakan sebuah entitas yang bersifat rasional. Selanjutnya dalam menyusun kebijakan publik, teknokrat positivisme menggunakan pendekatan sistematis, metodis, terukur, dan bersifat teknis. Jargon positivisme yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang universal dan bebas nilai pada akhirnya memberi cacat dalam praktek teknokrasi karena muatan positivisme membuat para teknokrat menafikan realitas-realitas sosial yang tidak dapat terdeteksi oleh alat-alat analisis mereka. Salah satu bentuk kritik terhadap praktek teknokrasi positivisme adalah bahwa dunia sosial tidak dapat dipahami semata-mata sebagai obyek fisikal yang dapat terukur, melainkan dikonstruksi oleh sekumpulan makna-makna yang terorganisir dalam sistem sosial. Makna-makna tersebut membentuk cara masyarakat berperilaku dan menginterpretasi dunia di mana mereka berada. Realitas seperti inilah yang tidak masuk dalam kamus para teknoktrat positivisme ketika menyusun kebijakan publik sehingga kebijakan yang dihasilkan dengan mengandalkan asumsi yang rigid dan tuna makna tidak jarang justru menghasilkan masalah. (Fischer, 2001)
            Pengetahuan berbasis positivisme yang dianggap paling sah dalam mencari "kebenaran" membuat para pengambil keputusan yang berada di sistem pemerintahan menggantungkan diri pada praktek teknokrasi yang pada akhirnya memberi posisi elit bagi para teknokrat untuk mengatur sumber daya ekonomi dan politik dalam penyusunan kebijakan public tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat.
Kritik terhadap teknokrasi di atas belum lengkap tanpa melihat lebih dalam mengapa kebijakan publik yang dihasilkan oleh teknokrat sering gagal memenuhi misinya padahal para teknokrat dilengkapi alat analisis yang sangat memadai. Mungkin salah satu permasalahan yang bisa kita telaah dalam konteks analisa terhadap kebijakan public, permasalahan yang sudah lama terjadi yang diakibatkan oleh perbuatan pribadi manusia, lembaga maupun kebijakan yang salah sehingga merusak lingkungan baik langsung seperti membangun rumah yang masuk badan sungai, merubah fungsi daerah tangkapan air menjadi perumahan, penggundulan hutan dan merubah eksisting sungai dan sedangkan tidak langsung dapat berupa kebijakan yang salah dan pengawasan maupun penegakan hukum yang lemah maupun diskriminasi dalam penegakan peraturan mengenai garis sempadan sungai..
Satu hal yang harus kita perhatikan dalam konteks pentingnya kebijakan public yang tidak diskriminasi  dalam mengatasi permasalahan ini adalah bahwa kita memang melakukan kesalahan fatal dan kesalahan fatal tersebut adalah kita selalu sering mencari “Kambing Hitam” yang di jadikan sasaran tembak untuk memberikan jastifikasi sehingga penyelesaiannya pun akan semakin rumit dengan saling tuduh –menuduh sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang tinggi di tingkat akar rumput.
Dalam konteks seperti ini ada baiknya kita coba  menyimak framework Lindblom dan Woodhouse (1993) yang meletakkan aktivitas pembuatan kebijakan publik sebagai wacana politik, tidak semata-mata permainan rasio para teknokrat. Lindblom dan Woodhouse mengidentifikasi keterbatasan-keterbatasan analisis para teknokrat dalam menghasilkan kebijakan publik yang applicable. Pertama, analisis para teknokrat sangat rentan terhadap kesalahan karena miskinnya informasi yang merefleksikan realitas sosial. Kalaupun informasi tersebut tersedia, sangat bersifat superfisial atau penuh bias. Kedua, analisis teknokrat sangat potensial dalam menghasilkan konflik nilai dikarenakan dominasi individual atau kelompok tertentu dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ketiga, keterbatasan sumber daya waktu dan biaya membuat analisis teknokrat selalu berada dalam determinisme kedua dimensi tersebut. Implikasinya adalah terjadinya reduksi atau simplifikasi analisis atas suatu masalah sosial. Dan keempat, dikarenakan rumitnya struktur masalah sosial, perumusan masalah dalam analisis teknokrat menjadi sangat terbatas karena ketergantungan pada variabel yang hanya terdeteksi oleh alat analisis teknokrat.
Akhirnya dari opini yang singkat ini semoga proses demokratis dalam kebijakan publik memiliki suatu bentuk kecerdasan yang akurat karena adanya proses check and balance yang interaktif antara teknokrat sebagai pembuat konsep dan masyarakat sebagai pengguna. sehingga proses demokratis tersebut dapat menghasilkan analisis yang lebih strategis dan applicable karena adanya sense of belonging dari masyarakat yang turut serta.

Senin, 31 Januari 2011

Konsep Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fiqih tradisional pada prinsipnya para pakar hukum Islam tidak mempergunakan kata hukum islam, yang biasa di gunakan adalah istilah  Syariat Islam,hukum syara, Fiqih, syariat dan syara, kata hukum Islam baru muncul ketika orientalis barat mulai mengadakan penelitian terhadap ketentuan Syariat Islam dengan term Islamic Law yang secara harfiah dapat disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan kata Islam, secara terpisah merupakan kata yang di pergunakan dalam bahasa arab dan juga dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai,meskipun tidak di temukan arti secara definitif. [1] Para ahli hukum masih berbeda pendapat dalam memberikan arti hukum Islam,sebagian mereka mengatakan bahwa hukum Islam itu merupakan pedoman moral, bukan hukum dalam pengertian modern hal ini di kemukakan oleh Muhammad Khalid Mas’ud bahwa hukum Islam adalah “a sistem of ethical or moral rules[2], di samping pemikiran tersebut sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum dalam tatanan Modern, hal ini dapat dilihat dari muatan yang terdapat dalam hukum Islam dimana mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan hukum Islam ini tidak hanya dapat memenuhi aspirasi masyarakat pada saat ini, akan tetapi juga dapat dijadikan acuan yang akan datang dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan sosial,ekonomi dan politik yang ada saat ini maupun akan datang.Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kedamaian dan ketertiban semata, akan tetapi juga mampu mendinamiskan pemikiran dan merekasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-cita kehidupannya. Menurut Josep Schacht[3],sebagaimana di kutip Abdul Manan,hukum Islam adalah keselutuhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap individu muslim dalam asfek kehidupannya.sedangkan Muhammad muslihuddin mengatakan bahwa “ Islamic Law is devirely Ordered system.the will of God to be established on earth. It Is called shari’ah or the (right) path.Qur’an and Sunnah (taditions of the prophet) are its two primary and original sources.[4]( hukum Islam adalah suatu sistem hukum yang bersumber dari Allah, Kehendak Allah yang di tegakkan diatas Bumi, hukum Islam disebut Syari’ah atau jalan Kebenaran,Al-Qur’an dan Sunnah adalah Sumber utama dari Hukum Islam). Hukum Islam sebagai tatanan dalam hukum Modern dan salah satu sistem hukum yang belaku di dunia,subtansinya mencangkup seluruh asfek kehidupan manusia,yakni ; pertama, mencangkup Ibadah yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan; Kedua,mencangkup hukum-hukum yang berhubungan dengan keluarga ( al ahwat asy-syahsyiyah) seperti nikah,talak,rujuk,wasiat,waris dan handhanah. Ketiga,asfek muamalah (hukum sipil),yaitu hukum yang berhubungan dengan hukum antar manusia,seperti jual beli,gadai,joint usaha,pinjam-meminjam. Keempat,mencangkup asfek ekonomi,misalnya zakat,baitul maal,harta ghanimah,pajak,ribadll. Dengan melihat cakupan yang sangat komperhensif dari hukum Islam tersebut beberapa pakar hukum Islam termasuk Izco Insapato guru besar dari Harvard University menyatakan bahwa :”Hukum Islam dalam pembahasan-pembahasannya benar-benar menyumbangkan pada dunia suatu sistem hukum yang abadi” senada dengan Izco, Santilana yang juga guru besar dari Harvard University mengemukakan :Hukum Islam itu sangat memadai bagi kebutuhan hukum di kalangan muslimin dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukum Islam itu mampu untuk menyelesaikan persoalan umat manusia dalam kehidupannya.” JND Anderson,seorang ahli hukum dari universitas London mengatakan bahwa :”Hukum Islam tidak dapat di tandinggi kesempurnaannya oleh sistem hukum manapun.
Hukum islam sebagai hukum di buktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu
1.      Bahwa hukum Islam tersusun melalui asas-asas tertentu ;
2.      Pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem dan kerja ;
3.      Mempunyai metode-metode tertentu dalam operasionalnya.
Dari karakteristik ini menunjukkan bahwa apapun yang di hasilkan oleh Hukum Islam adalah produk pemikiran dan penalaran yang berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensi sebagai ilmu, yaitu skeptis, bersedia untuk di uji dan di kaji ulan, dan sebagai ilmu tidak kebal kritik.
Berkaitan dengan Konsep hukum Islam beberapa pendapat yang selalu di kaitkan antara Hukum islam dengan ke abadian dan oleh karena itu di katakan absolut dan otoriter karena sumbernya yang berasal dari kehendak Tuhan. Pandangan pertama mengenai Konsep Hukum Islam di kemukakan, J.schacht dalam artikelnya “Theology and law islam” menyatakan bahwa selalu ada hubungan erat antara kecenderungan-kecenderungan kaum separatis hanyalah aksidental saja. Hal ini di tunjukan dengan fakta bahwa mazhab-mazhab hukum dan tokoh-tokohnya menunjukkan ketertarikan mereka pada hukum dan teologi.[5] Sejalan dengan Schacht, malcolm H.Keller juga meneliti bahwa konsep hukum Islam benar-benar berakar pada teologi, argumen yang menegaskan landasan-landasan teologi pada konsep hukum islam benar-benar diajukan untuk menekankan bahwa sumber hukum Islam kehendak Tuhan,bukan akal manusia.
            Bukti pertama yang di ajukan pendapat teologi pada konsep hukum islam yang menyatakan hukum islam abadi adalah mengenai keilahian sumber-sumber hukum islam, di pertahankan bahwa hukum islam mencari landasan wahyu Tuhan melalui Nabi ; landasan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Karena bersifat illahiah atau di wahyukan oleh tuhan maka sumber-sumber ini di yakini suci,final,eternal dan karenannya abadi. Dalam pengertian inilah beberapa sarjana seperti  J.N.D.Anderson memahami konsep hukum islam sebagai hukum yang bersifat Illahiah,[6]
            Bukti kedua,yang berpandangan bahwa hukum islam adalah abadi mengunakan pertanyaan yang menyatakan sumber hukum dalam pengertian yang lebih abstrak, bukti ini berpendapat bahwa hukum islam memiliki sumbernya pada kehendak Tuhan. Gibb telah menyatakan pandangan ini dengan tegas sebagai berikut : “ Jadi,konsep hukum adalah otoriter hingga tahap terakhir hukum,yang merupakan konstitusi umat tidak bisa lain kecuali kehendak Tuhan,yang di wahyukan melalui Nabi.ini adalah bentuk prinsip semitian bahwa kehendak penguasa adalah hukum,karena Tuhan sematalah pimpinan umat, yang karenanya Dia sematalah (yang berhak menjadi) pembuat hukum.”[7] Dengan demikian Gibb mengemukakan argumentasi bahwa hukum islam adalah pemikiran,bukan sebagai produk intelegensia manusia dan  adaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan dan identitas sosial,tetapi dari implikasi ilahi yang karenannya abadi. Al-Qur’an dan Hadits bukanlah landasan perenungan hukum Islam tetapi sekedar sumber-sumbernya.Fondasi hukum yang sebenarnya haruslah di dasari dalam sikap fikiran yang menentukan metode-metode dalam mengunakan sumber-sumber ini. Alasan tertinggi sikap mental semacam ini adalah bersifat metafisik ; suatu keyakinan apriori tentang ketidak sempuranaan akal manusia dan ketidak mampuannya untuk memahami melalui kekuatan-kekuatan murninya hakekat-nyata dari suatu yang baik,atau bahkan realitas apapun juga. Sebagai konsekuaensi dari logis dari konsep epistimologi hukum diatas, maka tidak ada peran primer diperkenankan bagi akal manusia independen dalam membuat hukum.[8]


[1] Abdul Manan,2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta : Rajawali Pers.Hal. 57
[2] Muhammad Khalid Mas’ud, 1977, Islamic legal Philosophy, A study of Abu Ishaq al Syatibi,Life and tought, Islamabad, Pakistan : Islamic Research Institute, Hal.9
[3] Josep Schacht, an Introduction to Islamic Law, 1993, Oxpord : Clarendon Press, Hal.1
[4] Muhammad muslihuddin, Phylosophy of islamic Law and the Orientalist; A Comparative study Of Islamic Legal System,Lahore,Pakistan : Islamic publication Ltd, tt.Hal.xii
[5] J.Schacht dalam  Widian W asmin, :Theology and Law in Islam,1977, Wiesbaden, 4f.f
[6] J.N.D.Anderson, Islamic Law in Modern World, 1959, New York :Newyork University Press,.17
[7] Gibb dalam Widian W Asmin, Muhammadinisme, 1962, Newyork : Oxpord.99
[8] Ibid, hal. 31

Jumat, 11 Juni 2010

Benarkah UAN = Problem Pendidikan?



Dalam rangka memperingati hari pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2010 ini ternyata masih menyisakan beberapa persoalan penting dalam bidang pendidikan.
Dari amatan sederhana penulis ,BEBERAPA hari belakangan ini seluruh komponen bangsa ini tidak terkecuali di Kalimantan Bagian Utara yang sebentar lagi akan menjadi Kalimantan Utara , mencuat kembali protes-protes dan ketidakpuasan tentang sistem yang menentukan kelulusan siswa-siswi tingkat menengah dan tingat atas seiring dengan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) yang masih menyebabkan beberapa siswa-siswi di nyatakan tidak lulus.
Ada fakta yang tidak bisa diingkari, UAN bukan hanya soal hari ini dan saat ini saja akan tetapi UAN juga sudah jadi problem masa lalu dan terus jadi potensi problem pada periode yang akan datang. Karakter problemnya bukan hanya bersifat manifes tapi juga mungkin bersifat laten dan terjadi di hampir seantero negeri ini setiap tahunnya, Ketidak mampuan mengelola masalah pendidikan potensial menuai banyak masalah di kemudian hari. Karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul cukup banyak respons negatif atas hasil UAN yang baru saja diumumkan dimana jumlah siswa yang tidak lulus ternyata bertambah banyak. Tidaklah berkelebihan dan bukan suatu isapan jempol kalau dikatakan bahwa Pemerintah seolah-olah menutup mata atas respons yang buruk dari masyarakat terhadap sistem UAN yang terjadi saat ini.
Mungkin Sudah menjadi sesuatu yang biasa di republik ini adalah keluhan publik belum memperoleh perhatian yang serius, belum ada mekanisme yang tersedia untuk menampung keluhan Publik walaupun UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah di sahkan dan diberlakukan. Publik yang umumnya binggung tidak mengetahui kemana atau kepada siapa bisa mengeluh dan bagaimana caranya menyampaikan keluhannya hanya bisa pasrah dan ujung-ujungnya tidak sedikit dari mereka yang hanya diam atau “di diamkan” meskipun hak-haknya diabaikan oleh sistem seperti ini.
Ada beberapa isu penting yang muncul dengan sistem kelulusan seperti ini, yaitu: kesatu, ada problematik kebijakan berkenaan dengan bentuk kebijakan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan ini; kedua, mungkin ada kepentingan politis tertentu yang menjadi dasar diterbitkannya kebijakan dimaksud; ketiga, potensial problema yang harus dihadapi dengan adanya kebijakan ini.
Sistem Ujian Akhir Nasional yang ditetapkan melalui kebijakan pemerintah ini mengunakan nama Untuk meningkakan mutu pendidikan di Indonesia sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip Pelaksanaan Pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia, namun sebagian substansi utamanya berkaitan dengan adanya beberapa mata pelajaran yang dijadikan penentu Lulus atau Tidaknya seorang siswa. Pada titik inilah, kebijakan ini menjadi penting diperhatikan karena potensial menimbulkan rasa ketidak adilan bagi sebagian besar orang baik itu anak didik, guru maupun orang tua murid. Apabila kita mengamati dengan saksama,maka pola seperti sebenarnya pola-pola instan yang di gunakan untuk merubah karakteristik yang ada sebelumnya.
Untuk itu timbul pertanyaan, apakah persoalan keterpurukan mutu pendidikan di republik tercinta ini dapat diselesaikan dan diatur hanya melalui ketentuan sistem UAN yang hanya mengantungkan kepada beberapa mata pelajaran untuk menentukan lulus atau tidak nya seseorang. Apalagi kalau dikaitkan dengan asfek keadilan yang mensyaratkan adanya proporsional dalam menentukan sesuatu, maka hal tersebut masih harus di pertanyakan kembali.
Logika apapun yang dipakai dalam kebijakan sistem UAN ini seharusnyalah yang diperhatikan secara sungguh-sungguh, adalah apabila suatu kebijakan mengakibatkan tercabutnya hak asasi manusia/ hak warga negara serta kebijakan yang menyebabkan tercabutnya rasa keadilan maka kebijakan tersebut pasti akan menimbulkan respon yang negatif dari masyarakat. Bukan kah dalam Sistem pendidikan seharusnya pemerintah wajib melakukan pemenuhan hak-hak dasar warga negara .
Memang banyak hal yang harus diperbaiki dalam dunia pendidikan di Indonesia, Peran semua elemen dalam mengutamakan kepentingan Sumber Daya Manusia harus ditingkatkan, bukan sekedar kepentingan individu atau golongan. Pemahaman mengenai administrasi pemerintahan masih harus ditingkatkan pula. Bias birokrasi, kekuasaan, politik dan bisnis yang mewarnai kultur pendidikan selama ini, belum sepenuhnya hilang. Berbagai strategi lain mungkin saja dipikirkan, diusulkan dan dikembangkan. Tujuannya bukan sekedar melahirkan wacana, konsep-konsep dan program yang reformatif untuk menuju Dunia Pendidikan yang mampu menciptakan Sumber Daya Manusia yang handal, melainkan juga untuk mendorong perwujudannya.
Akankah pendidikan yang mampu melahirkan Sumber Daya Manusia yang handal di negara kita ini akan terus menjadi wacana. Setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat berbicara tentang reformasi dalam kerangka pola berpikir masing-masing, terlepas dari kehidupan kesatuan berbangsa dan bernegara. Para politisi dengan beberapa perkecualian juga perlu ditertibkan pola dan cara berpikir mereka yang rancu, pola berpikir segmental di mana kebenaran seolah-olah hanya kelompok mereka tertentu yang memilikinya.
Yang pasti, Kebijakan UAN ini muncul sebagai bagian dari kebijakan awal pemerintah untuk mengakselerasikan program pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia ,Yang pasti pula, kebijakan seperti ini juga potensial membuat problematika baru karena sebagai substansinya memang potesial menciptakan masalah. Tidak ada mekanisme yang bisa mengeliminasi potensi problem yang secara inheren tersebut di dalam kebijakan UAN ini. Kesemua itu makin membuat tajam problem Pendidikan kita. Kalau sudah begitu, maka Hari Pendidikan Nasional Yang kita peringati setiap tanggal 3 mei belum mampu membuat kita menyelesaikan problem Pendidikan. Oleh karena itu kita perlu untuk menghasilkan perubahan dalam kebijakan UAN tersebut, Tidak ada kata lain kecuali harus melakukan keputusan perubahan kebijakan UAN, Bukankah agama kita mengajarkan kepada kita bahwa ”sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan**

Selasa, 21 Juli 2009

PERBANDINGAN HUKUM TANGGUNG JAWAB DIREKTUR (PT) ANTARA SISTEM HUKUM CIVIL LAW DGN COMMON LAW

By
Yahya.A.Z
Direksi dalam menjalankan tugasnya bertindak untukdan atas nama Perseroan Terbatas (PT), maka konsekuensi (baik atau buruk) sebagai akibat perbuatannya itu pada prinsipnya dipikul oleh PT sendiri. Prinsip ini berlaku baik dalam sistem hukum Common Law (Amerika Serikat) maupun dalam sistem Civil Law (hukum Indonesia). Namun demikian prinsip tanggung jawab terpisah ini bukanlah prinsip yang steril, sehingga dalam hal-hal tertentu konsekuensi dan tindakan direktur tersebut harus dipikul secara pribadi oleh direktur sendiri, sungguhpun dia bertindak untuk dan atas nama perusahaan.[1]
Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya : Direktur dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengidukan saham sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali.
Disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap perusahaannya,yakni [2]:
a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau
b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau
c. ikut dalam berpartisifasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut
Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA Pasal 8.24(d), seorang direktur dipresumsi menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu.
Selanjutnya menurut RMBCA Pasal 8.30 (b dan c) kecuali jika seorang direktur mempunyai pengalaman atau expertise terhadap perbuatan tersebut, maka seoarang direktur lepas dari tanggung jawab pribadi jika tindakannya itu di dasari atas :
a. Pendapat tertulis dari legal counsel untuk perusahaan tersebut ;
b. Financial reports yang disiapkan oleh auditor atau accountant;
c. Penyataan oleh pegawai perusahaan dalam hubungan dengan masalah dalam lingkup tugasnya ;
d. Reports dari committee tertentu dalam perusahaan tersebut.
Sistem Hukum Civil Law (Indonesia) tidak mengenal pranata “fiduciary relation, sehingga hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam sistem Common Law, dalam sistem hukm Civil Law seperti di indonesia, hubungan tersebut hanya merupakan hubungan antara pemberi kuasa (perusahaan) dengan penerima kuasa (direktur) atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan juga hubungan perburuhan.[3] karena hubungannya adalah pemberi kuasa maka direktur sebagai penerima kuasa hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya melebihi kuasa yang yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam angaran dasar perusahaan. karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan jika dalam sistem hukum Common Law direktur bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee, maka menurut sistem Civil Law direktur pada prinsipnya bertindak hanya dengan memperhatikan anggaran dasar perusahaan.
menurut Sistem Civil Law apabila, misalnya setelah berdiri terjadi pengisuan saham baru yang disebutkan disetor penuh, padahal sebenarnya tidak sisetor penuh, maka direktur tidaklah dapat dimintakan tanggung jawab pribadi karena biasanya ditentukan dalam anggaran dasar bahwa saham baru tersebut akan diisukan setelah adanya rapat umum pemegang saham (RUPS), dan ketika anggaran dasar dibuat/diubah karena pengisuan saham, siapa saja (direktur,pemegang saham atau komisaris) yang memberikan keterangan tidak benar kepada notaris ketika angran dasar dibuat/dirubah padahal dia mengetahuinya atau patut mengetahuinya bahwa keterangan tersebut tidak benar maka dia akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 163, Pasal 264 atau Pasal 266 KUHpidana, selanjutnya menurut hukum Indonesia seoarang direktur akan bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh dewan direksi atau oleh perusahaan. Tidak ada ketentuan dalam sistem hukum Civil Law (Indonesia) yang melepaskan tanggung jawab hukum seoarang direktur hanya karena alasan bahwa terhadap perbuatan tersebut tidak setuju, tidak telah mengizinkan, menyetujui, berpartisifasi, atau mendasari tindakannya atas pendapat prosfesional lainnya. sungguhpun terhadap yang disebut terakhir tadi, para profesional tersebut dapat pula dimintakan tanggung jawabnya secara hukum karena malpraktek apabila dia telah memberikan keterangan secara salah. maka usaha untuk mengelak dari tanggung jawab tersebut menurut sistem hukum Indonesia hanya mungkin dilakukan apabila direktur yang tidak setuju tersebut nerhenti dari direktur sebelum tindakan tersebut direalisasi.
Karena dalam sistem hukum Common Law, terdapat hubungan fiduciary antara direktur dengan perusahaan, seperti ditentutan dalam kasus Mardel Securities, Inc v. Alexandaria Gazette Corp, dengan demikian perusahaan dianggap cestui que trust (benefi-ciary), sedangkan direktur menjadi trustee-nya. maka dalam mejalankan tugasnya direktur harus bersandar pada standard of care tertentu.
namun demikian kedudukan direktur agak unik dalam sistem hukum Amerika Serikat, mereka bukan trustee dalam arti biasa dan mempunyai kekuasaan lebih dari sekedar agen biasa dalam hukum agency mereka. sementara itu dalam sistem hukum Civil Law, tanggung jawab tidak terlalu di dasarkan pada standard of care tertentu, tetapi semata-mata di dasari atas hubungan pemberian kuasa, yakni seberapa jauh kekuasaan diberikan oleh anggran dasarnya. dapat dikatakan juga, jika dalam hukum Common Law basis tanggung jawabnya merupakan “kaidah hukum” sedangkan menurut sistem hukum Civil Law basisnya adalah “perjanjian” di antara para pihak. Hanya saja terdapat restriksi tertentu terhadap “kebebasan” dalam melakukan perjanjian tersebut berhubungan dengan adanya ketentuan hukum perseroan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007 dan stansard praktis dari Departemen Kehakiman yang mengesahkan Anggaran Dasar perusahaan dan ini mau tidak mau harus diikuti dalam praktek.
Di amarika serikat kriteria standard bagi direktur yaitu melakukan “duty of care” terhadap perusahaan dapat dilihat klarifikasinya misalnya dalam Pasal 8 (3c) dari RMBCA di mana tugas-tugas direktur harus dilakukan :
a. Dengan itikad baik
b. Dengan kehati-hatian dengan mana manusia biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) pada posisi yang sama akan melakukannya pada situasi yang sama.
c. Dengan cara-cara yang diyakininya merupakan kepentingan terbaik (best intrest) bagi perusahaan.
Sering juga dipakai standar yang mirip dengan itu terhadap tingkatan deligence care and skill yaitu “ which ordinarily prudent person would exercise under similar circumtances in their personal business affairs. Secara Klasik prinsip “duty of care” dari direktur dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. a concious exeercise of judgement
b. an informal decision
c. a rational basis.
dalam kasus prancis V.united Yersey Bank, dalam penetapan prinsip “duty of care mengharuskan direktur :
a. get a redimentary understanding of the business
b. keep informed about the corporations activities.
Pengadilan-Pengadilan amerika serikat cukup berhati-hati dalam mencari keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri dan/atau menilai kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. dengan perkataan lain pengadilan tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur, sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat (clear mistakes) yang lebih sering disebut (honest mistakes) kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang sering disebut dengan sebutan “business Judgement Rule”.
Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence”
Pengadilan di amerika serikat juga tidak menerapkan Business Judgement rule terhadap kasus-kasus transaksi self dealing, yakni transaksi yanh di lakukan antara direktur pribadi dengan perusahaan, yang menurut hukum amerika serikat, dalam batas-batas tertentu di larang. untuk kasus-kasus yang tidak termasuk dalam disinterested decision sepeti ini, dianggap terdapat pelanggaran terhadap fiduciary duty of loyality, sehingga di pakai standar yang lebih berat, misalnya mengharuskan pelaksanaan transaksi terebut secara “fairness” atau “intrinsic fairness”.
Transaksi self dealing dikatakan mengandung unsur conflict of interest karena keterlibatan kepentingan pribadi direktur dan sekaligus juga kepentingan perusahaan. contoh lain dari transaksi conflict of interest ini adalah apa yang di cover oleh doktrin Corporate Opportunity, menurut doktrin ini seorang direktur demikian juga organ perusahaan lainnya, tidak diperbolehkan mengambil kesempatan / keuntungan untuk dirinya sendiri jika kesempatan/keuntungan tersebut seyogianya dapat diberikan untuk perusahaannya.
Direktur tidak dibenarkan mengambil profit yang tersembunyi dalam hubungan transaksi perusahaan atau bersaing secara tidak fair dengan perusahaan atau mengambil sendiri apportunity yang seyogianya dapat diambil untuk kepentingan perusahaan.
standar yang digunakan untuk kasus-kasus orporate opportunity ini sangat bervariasi bergantung kepada sifat atau seberapa lama kasus tersebut telah diputuskan, bahkan tergantung pengadilan di negara bagian mana yang memutuskan.


[1] Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Prektek (Buku ke-I), Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti.Hal. 59
[2] Anderson, Dalam Buku Munif Fuadi, Hal.60
[3] HMN Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (jilid 2), Jakarta: Djambatan.
Scrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text GeneratorScrolling Glitter Text Generator

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini??

Aq Jadi Ayah

Minggu, 13 Juli 2008 anugerah Allah.S.W.T. yang tiada terhingga telah datang....suka,duka dan bahagia menjadi satu mengisi sanubari yang paling dalam...aq merasa menjadi manusia yang paling bahagia dan semuanya tidak lepas dari untaian ribuan rasa syukur atas kehadirat Allah yang maha perkasa atas nikmatnya kepadaqu...Ya ALLAH jadikanlah aq hamba yang selalu bersyukur kepada mu atas semua nikmat yang kau berikan kepada aq dan keluarga kecilqu yang kini telah sempurna dengan kehadiran si buah hati kami : Nabil Al-Farazy Zein.....Anakqu semoga engkau kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan keluarga...menjadi anak yang cerdas dalam naungan kebenaran dan keadilan...Anak yang selalu menjadi kebangaan orang tua dan keluarga...Amien...Amien.. Ya ALLAH

Buah Hatiqu

Satu Minggu Jadi Ayah

Alhamdulillah...
setelah satu minggu menjadi ayah hanya satu kata untuk mengambarkannya..."Menyenangkan"
melihat perkembangan si kecil Nabil,melihat wajah polosnya yang masih bersih tanpa dosa dan noba setitikpun..........
mengagumi senyuman dan tawanya yang nyaris sempurna tanpa beban sedikitpun,.......
memandanggi mata bundarnya yang sangat indah tanpa cela..............
menikmati tangisannya yang merdu di tengah malam karena haus atau karena pipis.....
aq benar-benar selalu berusaha melihat dengan mata dan hati sungguh-sungguh anugrah ALLAH yang belum tentu dapat dinikmati oleh semua orang yang bernama Ayah....
Semoga......ini semua akan menambah dan memberikan pelajaran yang berharga dalam proses menikmati hidup...Amien...Amien..Ya Rabbal Alamin....

Semangat Baruqu